Minggu, 28 Agustus 2011

Mengapa Rasulullah melarang minum sambil berdiri?


Mengapa Rasulullah melarang ummatnya minum berdiri?
Dalam hadist disebutkan :
                                      “janganlah kamu minum sambil berdiri” 

Ini dibuktikan dari segi kesehatan. Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer. Sfringer adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada ‘pos-pos’ penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri. Air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disaluran ureter. Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penyakit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya.

Dari Anas r.a. dari Nabi saw.: "Bahwa ia melarang seseorang untuk minum sambil berdiri. Qatadah berkata, "Kemudian kami bertanya kepada Anas tentang makan. Ia menjawab bahwa itu lebih buruk."

Pada saat duduk, apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut.

Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan. Adapun rasulullah saw pernah sekali minum sambil berdiri, maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan. Ingat hanya sekali karena darurat!

Manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan dengan sempurna. Ini merupakan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat terpenting pada saat makan dan minum.

Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, di mana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat.

Makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus.


Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (vagal inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak.

Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus-menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung. Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa berbenturan dengan makanan atau minuman yang masuk.

Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan otot pada tenggorokkan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan dan minum.
Dari segi kesehatan. Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringter. Sfringter adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada pos-pos penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri. Air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih.

Ketika langsung menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disalurkan ureter. Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penyakit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya.

Diriwayatkan ketika Rasulullah s.a.w. dirumah Aisyah r.a. sedang makan daging yang dikeringkan diatas talam sambil duduk bertekuk lutut, tiba-tiba masuk seorang perempuan yang keji mulut melihat Rasulullah s.a.w. duduk sedemikian itu lalu berkata: "Lihatlah orang itu duduk seperti budak." Maka dijawab oleh Rasulullah s.a.w.: "Saya seorang hamba, maka duduk seperti duduk budak dan makan seperti makan budak." Lalu Rasulullah s.a.w. mempersilakan wanita itu untuk makan.

Adapun duduk bertelekan (bersandar kepada sesuatu) telah dilarang oleh Rasulullah sebagaimana sabdanya, "Sesungguhnya Aku tidak makan secara bertelekan" (HR Bukhari).

 

Bagaimana kriteria para pemenang?


Ketika suasana dunia dengan beragam problematikanya terasa menyempitkan dada orang beriman, ketika itu hendaknya ia meyakinkan dirinya bahwa ia sedang menuju Allah swt dengan tulus ikhlas.
Yakinlah ketika itu suasana akan berubah menjadi gembira, tenang dan percaya akan adanya pertolongan Allah swt. Inilah sunnatullah yang tidak akan pernah berubah dan tidak akan pernah tergantikan.Ikhlaskan Hidupmu

Kita sudah sangat berpengalaman bahwa faktor pertolongan dan kemenangan itu datang dari dalam diri orang beriman, ketika ia merasa benar-benar ikhlas, ketika itu Allah swt akan campur tangan dengan menurunkan pertolongan, memberikan keberkahan dan kemenangan.

“Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad:7)


Sungguh, pertolongan hanya datang dari Allah swt, karena itu hendaknya ma’iyatullah atau merasa bersama Allah swt selalu bersemayam dalam hati, jiwa dan lisan bahkan dalam setiap perbuatan.


Kriteria Pemenang
Agar kita senantiasa memiliki perilaku ikhlas dan keyakinan akan datangnya pertolongan Allah swt, hendaknya kita memiliki kreteria sebagaimana yang Allah swt firmankan:

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (At-Taubah:112)


Pertama, Atta’ibun: senantiasa memperbaharui taubat, karena setiap bani Adam pasti salah, dan sebaik-baik orang yang salah adalah orang yang segera beristighfar dan bertaubat.


Kedua, Al’abidun: senantiasa mengabdi kepada Allah swt. Duhai, sejauh mana kita mengabdikan diri kepada-Nya ? Hanya di saat gembira saja, di kala sedih, atau di setiap situasi dan kondisi?


Ketiga, Alhamidun: kondisikan hati untuk senantiasa senang ketika Allah swt memanggil dan menyeru dengan perintah dan larangan. Segeralah menuju Allah swt dengan bersyukur dan suka cita.


Keempat, Assa’ihun: hendaknya senantiasa siap siaga untuk berjihad menegakkan keadilan, menyemai kebahagiaan dan menebar rasa aman di tengah-tengan masyarakat. Tak lupa berjihad mengendalikan hawa nafsu dengan melaksanakan shaum.


 Kelima, Arraki’un Assajidun: Ya Allah, jadikan kami termasuk orang-orang yang senantiasa ruku’ dan sujud secara berjama’ah. Ya Allah, jangan halangi kami untuk itu karena sakit atau malas.


Keenam, Al Aamiruna bil ma’ruf wannahuna ’anil munkar: menegakkan yang baik dan melarang yang buruk. Duhai indahnya kedua hal ini bisa dilaksanakan dengan seimbang.


Ketujuh, Alhafidhuna lihududillah: menjaga dan menerapkan hukum-hukum Allah swt, karena tiada satu pun hukum dan perintah Allah swt yang tidak layak diterapkan dan dijalankan dan karena itu membawa manfaat dan jauh dari madharat.
Ketika ketujuh hal di atas dijalankan dengan baik, maka layaklah kita mendapatkan kabar gembira dari Allah swt ”wabasy syiril mukminin”.

Sungguh, ketika rasa takut lenyap dari hati, tatkala rasa sedih menghilang dari jiwa, ketika itu kita merasakan ma’iyyatullah atau bersama Allah swt dan karenanya kita akan mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari-Nya.

Inilah hijrah yang sebenarnya, hijrah yang mengantarkan kita kepada percepatan pertolongan Allah swt.
Marhaban, ayolah kita semua, siapapun kita tanpa terkecuali bertaubat, diiringi dengan keseriusan pengabdian kepada Allah swt, yang akan mengikis noda kelam dalam hati secara berangsur.

Bangun lisan dengan memperbanyak memuji dan bersyukur. Bantu anggota badan untuk menapaki dakwah ilallah dan perjuangan menegakkan syariat-Nya. Hendaknya kita menjadi ”Qur’an” yang berjalan di muka bumi. Ketika itu, kita akan mendengar lirih suara batu dan pohon memanggil: ”Wahai Muslim, wahai Abdullah, di belakangku ada musuh Allah, perangilah!” sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah saw. Dan pertolongan Allah itu sangat dekat.